Secara tradisional KIA adalah sebuah program
vertikal yang diatur oleh kebijakan nasional. Sebagian besar kebijakan utama
KIA adalah inisiatif nasional yang dipengaruhi oleh organisasi internasional
seperti Bidan Desa, Membuat Kehamilan lebih Aman, dan Manajemen Terintegrasi
dari Penyakit Masa Anak-anak, Kebijakan KIA adalah program yang sangat kuat di
level pemerintah pusat, tetapi bukan termasuk yang penting di level pemerintah
daerah.
Di pemerintah pusat, kekuatan kebijakan KIA sangat jelas. Program KIA
dibahas dengan baik di Tindakan-tindakan Kesehatan, Rencana Jangka Menengah dan
Jangka Panjang Pemerintah, Kebijakan Bappenas dan dokumen rencana strategis
Kementrian Kesehatan. Di sisi lain, kelemahan kebijakan utama nasional juga
jelas. Tidak ada rencana pendanaan KIA berdasarkan intervensi efektif dalam
implementasi kebijakan. Sebagai hasilnya, implementasi kebijakan menjadi tidak
efektif.
Strategi
Pembangunan Kesehatan menuju indonesia sehat 2010 mengisyaratkan bahwa
pembangunan kesehatan ditujukan pada upaya menyehatkan bangsa. Indikator
keberhasilannya antara lain ditentukan oleh angka mortalitas dan morbiditas,
angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Program kesehatan
ibu dan anak (KIA) merupakan salah satu prioritas utama pembangunan kesehatan
di Indonesia. Program ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi
ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal. Salah satu tujuan program ini
adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Anak (AKB)
masih tinggi yaitu, 307 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 35/1000 kh. Target
yang ditetapkan untuk dicapai pada RPJM tahun 2009 untuk AKI adalah 226 per
100.000 kh dan AKB 26/1000 kh. Dengan demikian target tersebut merupakan
tantangan yang cukup berat bagi program KIA.
Sebagaian besar penyebab kematian ibu
secara tidak langsung (menurut survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 sebesar 90%)
adalah komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan segera setelah
bersalin. Penyebab tersebut dikenal dengan Trias Klasik yaitu Pendarahan (28%),
eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara
lain adalah ibu hamil menderita Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (HB
kurang dari 11 gr%) 40%. Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan
resiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia.
Selama kurun waktu 20 tahun angka
kematian bayi (AKB) telah diturunkan secara tajam, namun AKB menurut SDKI
2002-2003 adalah 35 per 1000 KH. Angka tersebut masih tinggi dan saat ini
mengalami penurunan secara lambat. Dalam Rencana Pembangunan jangka panjang
Menengah Nasional (RPJMN) salah satu sasarannya adalah menurunkan AKB dari 35
1000 KH menjadi 26 per 1000 KH pada tahun 2009. Oleh karena itu perlu dilakukan
intervensi terhadap masalah-masalah penyebab kematian bayi untuk mendukung
upaya percepatan penurunan AKB di ndicator.
ppendapat saya pemerintahan seharusnya Memperbaiki
akses pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dengan cara pemberian pelayanan
antenatal yang optimal secara menyeluruh dan terpadu, peningkatan deteksi dini
resiko tinggi baik pada ibu hamil maupun pada bayi di institusi pelayanan ANC
maupun di masyarakat, disamping itu pengamatannya harus secara terus menerus.
Dan berfungsinya mekanisme rujukan dari
tingkat masyarakat dan puskesmas hingga rumah sakit tempat rujukan.
Lalu,Adanya keseragaman dan persamaan
persepsi tentang sistem pelaporan antara pengelola program kesehatan ibu dan
anak yang berada di kabupaten/kota dengan pengelola yang ada di propinsi.
Mengingat keselamatan dan kesehatan ibu
dan anak merupakan hal yang penting maka kiranya pemerintah lebih jelas lagi
dalam mengatasi mesalah dan membuat kebijakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar